Catatan: Wara Sinuhaji MHum
Militansi anak anak muda Karo itu hari ini sudah mulai menunjukkan taji dan kukunya.Tiada hujan tiada badai, tiba tiba saja mereka mulai bergerak, spontanitas turun ke jalan, dengan “Gerakan Karo Seribu Rupiah”. Aktifitas mereka bisa kita lihat di media sosial, dan gerakan ini disambut antusias oleh publik.
Gerakan Karo seribu rupiah ini adalah semacam sebuah protes sosial atas kebijakan pemerintah yang semula sudah menyetujui dua jalan layang, antara Sembahe – Berastagi, untuk mengurai kemacetan. Tetapi perencanaan yang sudah final, tiba tiba dibatalkan dan diganti dengan alternatif lain, dengan alasan dana yang tidak memadai.
Jujur saya ungkapkan, pertumbuhan kenderaan bermotor setiap tahun tidak seimbang dengan pertambahan ruas jalan raya, menyebabkan jalur Medan – Kabanjahe rawan menjadi macet, ditambah ketidak displinan pengemudi kenderaan bermotor saling korelasi menambah kemacetan itu.
Bertahun tahun masalah kemacetan ini, gaungnya sudah kita wacanakan, tetapi pemerintah tidak mau tau.Berbagai pemikiran sudah kita sampaikan, tidak harus jalan tol, tetapi paling tidak pemerintah harus mengembangkan jalan alternatif lain. Meningkatkan kualitas jalan Kabupaten menjadi provensi dan jalan provensi menjadi jalan negara. Sebenarnya, jalan yang saya maksudkan ini telah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi pemerintah kita abaikan masukan ini, tidak mau mengembangkannya.
Banyak mengatakan kalau dibangun jalan tol akan merusak lingkungan, hutan akan ditrabas untuk itu.Jujur, menjelang masuk abad ke dua puluh ketika jalan raya ini dibuka oleh Belanda, pernahkah mereka berpikir merusak lingkungan pegunungan Bukit Barisan tersebut ? Sebaliknya, kitalah di alam kemerdekaan ini merusak hutan tersebut.
Coba anda cermati, mulai Sembahe sampai Sibolangit, Bandar Baru sampai Penatapen tempat kita makan jagung. Bukankah seharusnya wilayah dan tempat ini steril, karena kawasan hutan negara? Lihat, berjuta juta ton air setiap tahun diangkut dari tempat ini, aku tidak tau apakah ini bukan merusak lingkungan? Lahan kiri kanan kawasan ini dibiarkan diokupasi, bangunan rumah rumah megah berdiri seenaknya, kok bisa? Ketika ada wacana bangun tol, kok kita ribut sekerasnya merusak lingkungan.
Bahkan, dulu di Tekongan Amoy, pernah berdiri megah tugu perjuangan penembakan terhadap “Komisi Tiga Negara”. Diruntuhkan perlahan lahan, diokupasi menjadi tempat penampungan air. Kok bertahun tahun dibiarkan, inilah sebenarnya manusia-manusia perusak lingkungan tadi, berkolaborasi dengan oknum oknum pemerintahan. Tidak pernah ditertibkan.Tetapi ketika ada wacana kebutuhan publik membangun infrastruktur, kita semua berteriak merusak lingkungan.
Kalau kita berbicara merusak lingkungan bukankah sejak era Soeharto hutan kita semua telah gundul? Bukankan habitat
lingkungan saudara-saudara kita orang Kubu sudah lama tergerus karena hutan tempat mereka hidup dan bermukim hampir punah dan dibabat era itu? Coba anda cermati kalau anda ke Berastagi.
Sepanjang jalan raya Bandar Baru menuju kawasan hutan Tahura.
Bukankah setiap pagi dan sore, bukan manusia , tapi monyet yang berubah menjadi manusia ? mengemis di sepanjang jalan, mengharap kita akan melemparkan makanan buat mereka ?
Itu pertanda manusia-manusia zolim, rakus dan dan tidak peduli, sudah lama menggerus hutan di kiri kanan sepanjang jalan Sembahe- Berastagi, sehingga makanan mereka tidak ada lagi tersisa di hutan itu. Pernahkah kita berteriak siapa merusak lingkungan tersebut ?
Anak anak muda Karo itu memang militan, kalo kita tilik sejarahnya , Karo, ya memang etnis bermental pejuang. Apa yang mereka kerjakan, sadar sesadarnya jalan raya itu bukan hanya dibutuhkan oleh mereka. Rakyat dari Simalungun, Dairi dan Pakpak Barat, juga Kabupaten Samosir dan Humbang, juga melintasi jalur ekonomi ini menuju Medan, demikian juga sebaliknya.
Selain itu, jalan darat ini juga menjadi alternatif penghubung bagi Manduamas dan Barus di kawasan Kabupaten Tapanuli Tengah. Juga sejak jaman Belanda jalur jalan negara ini sangat urgen bagi kehidupan ekonomi Kabupaten Aceh Tenggara dan Takengon. Demikian juga, semua Kabupaten yang berada di bahagian Selatan Aceh, geliat dan orientasi ekonominya dari dulu semua ke Medan, dan bukan ke Aceh, lewat jalur ini.
Harus kita ingat, ini bukan semata mata sesuatu yang urgen hanya buat Karo.Kita memang harus objektif juga, kenapa hanya Bupati Karo dan Dairi yang efektif melakukan loby ke pusat. Mana atensi Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) dan bupati-bupati lain? Bukankah Gubsu itu perwakilan pemerintah pusat di Provinsi? Bukankah beliau seharusnya mengayomi para bupati agar saling bersinegis satu sama lain mendukung rencana ini.
Gubsu seharusnya melobi Gubernur Nangro Aceh Darussalam, agar mengorganisir para Bupati di kawasan dan wilayahnya. Bukankah kalau mereka semua bekerja sama melobi dan meyakinkan pusat, hal ini sangat urgen dan mendesak untuk segera direalisasikan, menjadi sebuah kekuatan meyakinkan pemerintah pusat ?
Walaupun kadang saya dengan pedas mengeritik kinerja Bupati Karo, tapi dalam konteks kali ini saya harus membela dia. Tolong jangan kririk dia, mari kita apresiasi apa yang telah dia perbuat, walau belum berhasil. Beliau sudah mengeluarkan energi untuk semua kepentingan, jangan kita jadikan beliau jadi bulan bulanan kritik.Ini bukan hanya kepentingan Karo, tapi dia sudah memperjuangkan kepentingan semua rakyat di luar kepentingan wilayah kerjanya.
Apa hari ini yang diperjuangkan oleh anak anak muda Karo, hampir persis seperti yang sudah dilakukan oleh Bupati Karo, Terkelin Brahmana. Jalan layang gagal diwujudkan sebagai alternatif mengurai kemacetan. Kegagalan ini kembali coba digagas oleh anak anak muda Karo. Mari anak anak muda dari daerah lain, kita sambut gerakan mereka, kita viralkan bersama aksi ini. Jangan biarkan kaum muda Karo
bergerak sendiri, bantu dan saling bahu membahu melaksanakan gerakan seribu ini. Ingat , ini bukan hanya sebatas untuk kepentingan Karo, tetapi Karo bergerak demi kepentingan semua.
Gerakan seribu ini tentunya adalah sebatas gerakan moral, menunjukkan sebuah sikap serius untuk mengatasi sewaktu waktu terjadi kemacetan akut di kawasan tersebut. Aku paham betul sikap militansi etnisku, sukur mereka tidak merubuhkan “kayu pertakin”, menebangi kayu kayu besar di lintasan hutan tersebut, seperti dilakukan oleh para pejuang masa kurun revolusi mencegah Sekutu dan Belanda masuk ke Berastagi.
Seandainya aksi protes semacam ini yang mereka lakukan, akan pasti terjadi kemacetan luar biasa, berhari hari akan terjadi viral dan melumpuhkan perekonomian, dan saya pastikan akan menjadi perhatian pemerintah pusat, akan menjelekkan pemerintah tidak mampu atas tuntutan rakyatnya.
Saya kenal baik dengan semua tokoh penggerak dibalik aksi gerakan seribu ini.Sudah terbiasa aku diskusi dengan mereka, gerakan ini menurut aku adalah positif, tidak destruktif, punya sikap empati untuk memecahkan permasalahan apa yang dirasakan oleh semua pihak. Untuk itu, mari kita dukung apa yang sedang mereka perjuangkan.
Gerakan seribu rupiah hanya sebatas gerakan moral, kalau tidak mau partisipasi sebatas seribu rupiah, tidak menjadi masalah, tapi harapanku, tidak sinis saja dan mencemeeh gerakan ini, sudah berarti anda partisipatif mendukung mereka. Merdeka ! merdeka!
Wara Sinuhaji, MHum Dosen FIB USU