ASARPUA.com – Jakarta – Gerakan sosial, seperti protes, demonstrasi, bahkan pemberontakan sekalipun, dipicu oleh ketidakadilan baik secara politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya, yang dirasakan sebagian warganegara.
Pihak yang berkuasa seringkali memandang kekecewaan pihak yang merasa diperlakukan tidak adil sebagai kemarahan atau kebencian. Karena memandang gerakan sosial sebagai kebencian, seringkali penguasa menghadapinya dengan coercive.
Padahal, kalau pun dianggap sebagai kebencian, tetapi karena akarnya adalah ketidakadilan yang dirasakan, maka cara paling efektif yang dapat dilakukan penguasa untuk meredam gerakan sosial adalah dengan menciptakan rasa keadilan di tengah masyarakat. Pun dengan sendirinya hal ini akan meningkatkan kepercayaan terhadap penguasa.
Demikian Pemimpin Umum Kantor Berita RMOL, Teguh Santosa, ketika berbicara dalam Seminar Publik International Relations Championship (Iron) 2019 yang diselenggarakan di Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (14/10/2019) siang.
Seminar yang diikuti delegasi sejumlah kampus di Pulau Jawa itu mengambil tema “Youth Challenges in Contemporary World Politics: Youth Roles in the Global People’s Movement”.
Ketika ditanya mengenai demonstrasi raksasa yang dilakukan mahasiswa dan pelajar beberapa waktu lalu untuk menolak sejumlah RUU yang kontroversial, Teguh mengatakan, aksi itu terbukti efektif menekan elit di lembaga legislatif dan eksekutif untuk berpikir ulang dan menghentikan proses pembahasan.
Dia menambahkan, di era reformasi, dimana sistem demokrasi relatif bekerja lebih baik dibandingkan di era otoritarian Orde Baru, warganegara memiliki banyak saluran untuk menyampaikan aspirasi politik. Apabila semua saluran yang digunakan dengan baik, Teguh yakin kehidupan bernegara dengan menggunakan sistem demokrasi akan menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.
“Dalam setting otoritarian, koreksi terhadap rezim hanya dapat dilakukan lewat jalanan, pembangkangan, bahkan pemberontakan. Kalau kita lihat sejarah Eropa di masa lalu, juga tidak jarang ada pembunuhan politik. Inilah bahayanya kalau sistem politik tertutup dan tersumbat,” ujarnya.
“Tetapi di era demokrasi, kritik terhadap rezim dapat dilakukan dengan banyak cara. Partai politik yang sehat adalah saluran yang paling diharapkan, selain lembaga legislatif dan lembaga eksekutif serta civil society,” tambah Teguh.
Peran Mahasiswa
Budiman Sudjatmiko membenarkan pernyataan Teguh. Karena itulah, menurut dia. tugas penting pemuda dan mahasiswa saat ini selain mengikuti dan mengontrol dari dekat agenda pembangunan adalah merumuskan dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghadapi masa depan yang akan lebih kompleks.
Dia mengecam sikap sementara kalangan yang menawarkan resep “khilafah” untuk semua persoalan yang sedang dihadapi Indonesia. Sayangnya, kata dia, gagasan khilafah yang ramai dipromosikan itu cenderung menciptakan sentimen negatif di antara sesama anak bangsa.
Gagasan ini pun akhirnya menjadi instrumen yang efektif untuk menciptakan kebencian satu kelompok terhadap kelompok lain.
“Bahaya kalau kebencian kelompok terhadap kelompok lain dibiarkan tumbuh di tengah masyarakat yang majemuk,” ujarnya.
Menurut Budiman, pemuda dan mahasiswa harus mengambil peran yang lebih maju untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Sedari dini pemuda dan mahasiswa harus mempersiapkan skenario-skenario terbaik yang dapat diimplementasikan dalam pertarungan global di masa depan.
“Jangan hanya berhenti di Facebook, Twitter, online shopping, dan sebagainya. Itu punya orang untuk menyelesaikan persoalan dari masa lalu dan hari ini. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghadapi tantangan di masa depan,” kata Budiman lagi. (as-rel)