asarpua.com

Liberti Sinaga SH: Termohon Salah Menafsirkan Surat Edaran Jaksa Agung dan Jampidsus.

ASARPUA.com – Kabanjahe –  Pengadilan Negeri Kelas I.B Kabanjahe kembali menggelar sidang Pra Peradilan kasus dugaan korupsi pada pembangunan Tugu Mejuah-juah Berastagi. Sidang yang dipimpin hakim tunggal Dr Dahlan SH MH, diruang Cakra dengan agenda penyampaian replik  pihak pemohon, Kamis (14/02/2019).

Liberti Sinaga SH, dari HandokoLliberti Law office selaku kuasa pemohon menyampaikan bahwa hukum kita mewarisi tradisi Eropah Kontinental (civil law). Lembaga Praperadilan sejatinya merupakan praktek dari fungsi hakim sebagai Examinating Judge (Rechter Commissaries) dalam hal mengawasi persoalan sah atau tidaknya “upaya paksa” yang dilakukan aparat penegak hukum.

Kategori upaya paksa dalam perkara ini termasuk upaya paksa yang dikenakan terhadap diri para pemohon melalui penetapan sebagai tersangka.

Bahwa oleh karenanya sungguh berada di pundak Hakim sebagai pengadil untuk menilai hal tersebut dalam kasitas sebagai penemu dan penggali hukum (rechtsvinding). Bukan semata-mata terpaku pada apa yang secara an sich atau harafiah tertulis pada Undang-undang atau peraturan, yang seringkali mengebiri upaya pencari keadilan .

Dalam jawabannya, termohon  dalam hal ini Kejaksaan Negeri Karo pada Jawaban Terhadap Permohonan Praperadilan Nomor:3/Pid.Pra/2019/PN.KBJ yang disampaikan kemaren menyatakkan bahwa pemohon salah dalam memaknai Surat Edaran Jaksa Agung maupun Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus),dengan alasan bahwa kedua surat edaran tersebut hanya dalam konteks  penyelidikan .

“Justru pada titik inilah Termohon yang salah memaknai kedua Surat Edaran tersebut, karena memandang proses penyelidikan dan penyidikan sebagai proses yang terpisah satu sama lain dan bukan sebagai satu rangkaian yang menyatu dalam prinsip due process of law. Hukum (materil) harus ditegakkkan melalui prosedur hukum (formil) yang benar juga,” ungkap Sinaga.

Satu hal lagi, tambah Sinaga, satu hal lagi yang menjadi kekeliruan pemahaman Termohon adalah, Termohon menganggap Paraa Pemohon mempersoalkan keabsahan dasar hukum dari Termohon dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Kkitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Padahaal sebagaimana telah Para Pemohon uraikan panjang lebar dalam permohonan praperadilan terdahulu,yang Paraa Pemohon persoalkan adalah prihal “gangguan” berupa intervensi yang dilakukan oleh Termohon. Apalagi, sebagaimana Termohon sendiri sampaikan dalam jawaban, bahwa dalam melakukan tindakkan penyelidikan dan penyidikan ini Termohon juga memperhatikan norma-norma kepatutan yang berkembang dalam masyarakat. Pertanyaannya: apakah tindakan Termohon yang melakukkan tindakan “intervensii” semacam ini merupakan bentuk tindakan penghormatan atau perhatian terhadap norma-norma kepatutan yang berkembang dalam masyarakat???.

“Panggilan-panggilan yang sudah jelas merupakan bentuk intervensi dari Termohon sebagaimana dimaksud, bahkan tidak hanya dilayangkan kepada Penyedia saja. Tetapi juga dilayangkan kepada Para Pemohon termasuk Pimpinan Pemkab Karo c.q Bupati Karo, melalui surat No.:B-26/N.2.17/Fd/06/2017 tanggal 16 Juni 2017 perihal Permintaan Keterangan dari Termohon kepada Pemohon II. Surat No.:B-1594/N.2.17/Fd.1?07/2017 tanggal 28 Juli perihal bantuan Pemanggilan Saksi dari Termohon kepada Bupati Karo. Surat Panggilan Sakksi No.:SP-01/N.2.17/Fd.1/07/Fd.1/07/2017 tanggal28 Juli dari Termohon kepada Pemohon I.” bebernya. (as-joh).